Penarikan Dividen badan usaha
dapat diinvestasikan ke dalam membeli rumah atau tanah untuk mendapatkan dividen bebas pajak, tetapi ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi.
Deviden yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri dapat diambil dari objek pajak jika memenuhi beberapa syarat, seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat 3 huruf F UU no. 36/2008. Syarat-syarat tersebut adalah :
- Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
- Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang dikeluarkan.
- Dividen diinvestasikan dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti:
- Surat Berharga Negara (SBN) Republik Indonesia dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Republik Indonesia.
- Obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara yang perdagangannya dilindungi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- Investasi keuangan pada bank persepsi termasuk bank syariah.
- Obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya diperdagangkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
- Investasi pada properti, seperti rumah atau tanah, yang digunakan untuk kegiatan usaha atau disewakan.
Aturan Utama dan Pajak Penarikan Dividen
Penarikan dividen dapat dilakukan kapan saja, tetapi harus memenuhi beberapa ketentuan. Berdasarkan Pasal 72 UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan dapat membagikan laba bersih sementara sebelum menutup buku selama diatur dalam anggaran.
Besaran dividen yang dapat ditarik tergantung pada laba bersih perusahaan dan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun, perusahaan harus memastikan bahwa laba bersih tidak kurang dari modal dan cadangan wajib.
Kriteria Dividen yang Bisa Ditarik
Dividen yang dapat ditarik adalah dividen yang berasal dari laba bersih perusahaan yang telah disahkan oleh RUPS. Perusahaan dapat membagikan dividen dari laba bersih yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, namun harus memastikan bahwa laba bersih tersebut telah disetujui oleh RUPS.
Apakah Dividen Tahun 2016 Sampai 2020 Juga Kena Bebas Pajak?
Dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Badan dalam negeri dapat diperoleh dari objek pajak jika memenuhi beberapa syarat, seperti yang diatur dalam Pasal 4 Ayat 3 huruf f UU No.36/2008. Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini berlaku untuk dividen yang diterima pada tahun pajak 2022 dan seterusnya.
Jika dividen dipakai untuk membeli rumah, maka dapat ditangkap dari objek pajak jika memenuhi beberapa syarat, seperti yang diatur dalam Pasal 4 Ayat 3 huruf f UU No.36/2008. Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini berlaku untuk dividen yang diterima pada tahun pajak 2022 dan seterusnya.
Golongan Wajib Pajak tak perlu lapor SPT 2025
Kriteria wajib pajak yang akan dibebaskan dari kegiatan lapor SPT ini disusun untuk menindaklanjutin peraturan mentri keuangan nomor 81 tahun 2025 tentang ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan system inti Administrasi perpajakan.
Sambil menunggu aturan terbaru, pengecualian bagi wajib pajak atau WP yang tidak perlu membuat SPT masih mengikuti aturan PMK-147/PMK.03/2017 dan peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020. Berikut ini wajib pajak yang masuk kategori Non-Efektif (NE) dari pendirjen pajak tersebut:
- Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang secara nyata tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
- Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah PTKP
- Wajib orang pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf B yang memiliki NPWP untuk digunakan sebagai syarat administratif antara lain guna memperoleh pekerjaan atau membuka rekening keuangan
- Wajib pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada diluar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang telah dibuktikan menjadi subyek pajak luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dantidak bermaksud meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
- Wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan belum diterbitkan Keputusan
- Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT dan atau tidak ada transaksi pembayaran pajak baik melalui pembayaran sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut
- Wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kelengkapan dokumen pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (7)
- Wajib pajak yang tidak diketahui alamatnya bedasarkan penelitian lapangan
- Wajib pajak yang diterbitkan NPWP cabang secara jabatan dalam rangka penerbitan SKPKB pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri instansi pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong adan/atau pemungut pajak, namun belum dilakukan penghapusan NPWP
- Wajib pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf A sampai dengan huruf J yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, tetapi belom dilakukan penghapusan NPWP.
JENIS PAJAK PENGHASILAN (PPH) WAJIB PAJAK BADAN
Wajib pajak dan pajak adalah hal yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan. Dimana wajib pajak harus membayar pajak yang menjadi tanggungjawab dan kewajibannya. Mengetahui apa saja jenis pajak yang menjadi kewajiban anda salah satunya yaitu pajak penghasilan atau yang lebih dikenal dengan PPh.
Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap tambahan nilai kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Baik itu berasal dari dalam maupun dari luar negeri, yang mana bisa menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. Maka, bisa dikatakan jika PPh dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh wajib pajak badan dalam hal ini suatu badan usaha. Dimana penghasilan yang diperoleh tersebut dihitung selama satu Tahun Pajak.
PPh diberlakukan kepada suatu Perusahaan atas pengelolaan yang berkaitan dengan barang dan jasa. Hal ini berarti bahwa pemungutan pajak juga bisa diambil dari barang atau jasa yang dikelola oleh suatu badan usaha. Badan usaha di Indonesia yang telah terdaftar dan memiliki NPWP wajib untuk membayar pajak. Diantaranya Perusahaan Terbatas (PT), Perusahaan Firma (FA) dan Perseroan Komanditer (CV) dan lainnya.
Jenis Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha
Terdapat 8 jenis PPh yang bisa dibebankan pada suatu badan usaha sesuai dengan ketentuan PerUndang-Undangan perpajakan. Dan berikut ini jenis PPh yang bisa dibebankan pada suatu badan usaha :
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 15
Ini merupakan pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan khusus yang ditunjukan untuk golongan wajib pajak tertentu. Begitu anda mendirikan Perusahaan atau memiliki badan usaha ataupun menjadi pengusaha, maka otomatis telah menjadi wajib pajak badan sekaligus wajib pajak orang pribadi. Kaitanya dengan hal tersebut, ada sejumlah pajak yang harus dibayarkan yang tertera pada surat keterangan terdaftar (SKT)
- PPh (Perusahaan Pajak Penghasilan) Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan yang berupa gaji, honorarium, tunjangan, dan lainnya. Penghasilan tersebut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lain yang diterima oleh wajib pajak dan dibayarkan setiap bulannya.
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 22
Pemungutan Pajak ini diperoleh dari wajib pajak yang melakukan kegiatan impor atau dari pembelian atas penjualan suatu barang mewah. Pihak Pemungut PPh pasal 22 ini terdiri dari bendahara pemerintah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga lainnya. Dan badan tertentu, baik itu badan pemerintah maupun swsata yang berkenaan dengan kegiatan di bidang impor ataupun kegiatan usaha di bidang lainnya.
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 23
Pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak pemungut pajak dari wajib pajak pada saat melakukan suatu transaksi. Transaksi yang dimaksud meliputi pembagian keuntungan saham (dividen), royalti, bunga, hadiah, sewa dan penghasilan lainnya. Tarif untuk PPh pasal 23 akan dikenakan berdasarkan pada DPP atau Dasar Pengenaan Pajak. Konsultan pajak Surabaya adalah jawaban tepat atas permasalahan pajak anda yang lebih efektif.
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 25
Ini adalah angsuran pajak yang berasal dari jumlah PPh terutang menurut SPT Tahunan. Dimana untuk pembayaran pajaknya harus dibayarkan sendiri tanpa diwakilkan oleh siapapun dan dilaksanakan secara berangsur. Jenis PPh ini bertujuan untuk meringankan beban wajib pajak dalam melaksanakan pembayaran pajak tahunannya.
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 26
PPh ini dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia, yang mana diterima oleh wajib pajak luar negeri. Dengan pengecualian selain bentuk usaha tetap (BUT) yang ada di Indonesia. PPh Pasal 26 ini merupakan penerapan dari asas sumber yang dianut dalam sistem pemungutan pajak yang ada di Indonesia.
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 29
PPh ini dihasilkan dari nilai lebih pajak terutang yaitu pajak terutang dikurangi kredit pajak. Atau pada saat jumlah pajak terutang yang dimiliki suatu perusahaan dalam satu tahun pajak, jumlahnya lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong. PPh pasal 29 ini harus dibayarkan dan dilunasi sebelum SPT Tahunan PPh Badan tersebut dilaporkan.
- PPh (Pajak Penghasilan) Pasal 4 ayat 2
Pajak ini dipotong dari bunga deposito dan tabungan lainnya. Serta bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya. Penghasilan yang umumnya dikenai pajak ini, bersifat final atau pajak yang tidak bisa dikreditkan.
2 KATEGORI HAK DAN WAJIB PAJAK YANG PERLU ANDA KETAHUI
Dalam kajian yang dilakukan oleh Duncan Bentley, hak-hak wajib pajak diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar yaitu Primary Legal Rights dan Secondary Legal Rights
Primary Legal Rights adalah hak-hak mendasar yang dijamin oleh konstitusi suatu negara maupun perjanjian Internasional
Primary Legal Rights berfokus pada proses perumusan dan pembuatan hukum yang memberikan dasar hukum yang kokoh bagi perlindungan wajib pajak.
Hak-hak ini mencakup beberapa poin utama antara lain:
- Hak untuk tidak membayar pajak lebih dari yang seharusnya.
- Hak atas kepemilikan pribadi (pajak harus dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan)
- Hak Non-retroaktif, yakni hak untuk tidak dikenakan pajak atas dasar hukum yang berlaku surut
- Hak atas kepastian hukum
- Hak untuk mendapatkan informasi
- Hak atas non-diskriminasi
Secondary Legal Rights adalah merupakan hak-hak wajib pajak yang dirumuskan ke dalam ketentuan peraturan perundang-undangan setiap negara
Hak-hak ini umumnya ditentukan dalam undang-undang yang mengatur tentang administrasi pajak, pemungutan, dan mekanisme penerapannya. Tercakup didalamnya baik hukum material maupun hukum formal.
Secondary legal rights juga dapat ditemukan diranah hukum administrasi yang menyediakan hak-hak administrasi yang menyediakan hak-hak administrasi utama dan hak-hak administrative sekunder seperti regulasi yang dibuat oleh otoritas pajak.
CAPTION : Hak wajib pajak merupakan elemen penting dalam system perpajakan yang adil. Berdasarkan penelitian OECD pada tahun 1990, perumusan hak-hak wajib pajak secara jelas dan eksplisit memberikan banyak manfaat
PENGAKUAN, PEROLEHAN DAN PENGHENTIAN ASET TETAP BERDASARKAN PSAK 1
Berdasarkan PSAK No. 16, suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan. Biaya perolehan aset tetap meliputi:
Harga perolehannya, termasuk bea impor dan pembelian pajak yang tidak dapat dikreditkan setelah dikurangi diskon dan potongan lainnya. Setiap biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset tersebut siap digunakan sesuai dengan intensitas manajemen;
Estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset tetap, kewajiban tersebut timbul ketika aset tetap diperoleh atau sebagai konsekuensi penggunaan aset tetap selama periode tertentu untuk tujuan selain memproduksi persediaan selama periode tersebut.
Contoh biaya yang dapat diatribusikan secara langsung adalah:
- Biaya untuk menyamakan kerja (seperti didefinisikan dalam PSAK 24 Imbalan Kerja yang timbul secara langsung dari konstruksi atau perolehan aset tetap
- Biaya penyediaan lahan untuk pabrik
- Biaya penanganan dan penyerahan awal
- Biaya instalasi dan perakitan
- Biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasilneto penjualan produk yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian tersebut (seperti, contoh sampel yang Dihasilkan dari peralatan yang sedang diuji)
- Biaya
Contoh biaya-biaya yang bukan merupakan biaya perolehan aset tetap adalah:
- Biaya pembukaan fasilitas baru
- Biaya pengenalan produk baru (termasuk biaya iklan dan aktivitas promosi)
- Biaya penyelenggaraan bisnis di lokasi baru atau kelompok pelanggan baru (termasuk biaya pelatihan staf)
- Administrasi dan biaya umum overhead
Pengakuan terhadap biaya-biaya dalam jumlah tercatat suatu aset tetap dihentikanketika aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan intensitas manajemen. Oleh karena itu, biaya pemakaian danpengembangan aset tidak dimasukkan ke dalam jumlah aset yang dicatat. Misalnya, biaya-biaya berikut ini tidak termasuk di dalam jumlah tercatat suatuaset tetap adalah biaya-biaya yang terjadi ketika suatu aset telah mampu beroperasi sesuai dengan intensitas manajemen namun belum dipakai atau masih beroperasi di bawah kapasitas penuhnya.
Perolehan Aset Tetap Menurut (Mayangsari & Nurjanah, 2018), Ada beberapa cara memperoleh aset tetap,antara lain :
- Pembelian secara tunaiAset tetap yang dibeli dari pembelian tunai dicatat sebesar jumlah uang yangdikeluarkan yaitu termasuk harga faktur dan semua biaya yang dikeluarkan agaraset tetap siap dipakai seperti bea balik nama, biaya angkut, biayapemasangan, biaya pengiriman dll.
- Pembelian AngsuranHarga perolehan yang dibeli secara angsuran tidak boleh termasuk biaya bunga.Bunga selama angsuran dibebankan ke beban bunga, dan yang termasuk keharga perolehan adalah total angsuran ditambah biaya tambahan seperti biaya pengbiayaan, biaya pemasangan, biaya pengiriman, dll.
- Ditukar dengan surat berhargaAset tetap yang ditukar dengan surat berharga, baik saham atau obligasi, dicatat dalam buku sebesar harga pasar saham atau obligasi yang digunakan sebagaipenukar.
- Ditukar dengan aset tetap lainAset yang diperoleh dengan menukar dengan aset tetap lain, harga perolehanaset yang baru tetap harus dikapitalisasi dengan jumlah sebesar harga pasar asetlama ditambah dengan uang yang dijual (jika ada). Dan selisih antara harga perolehan dengan harga nilai buku aset lama diakui sebagai laba atau rugipertukaran.
- Diperoleh dari donasiJika aset tetap diperoleh sebagai donasi maka aset tetap dicatat dan diakuisebesar harga pasarnya
Penghentian Aset Tetap
Menurut PSAK 16 paragraf 67 dalam (Siswati, 2016) jumlah aset yang tercatat tetapdihentikan pengakuannya pada saat pelepasan dan atau ketika tidak terdapat lagi manfaat ekonomik masa depan yang diharapkan dari penggunaan dan pelepasannya. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penutupan pengakuan aset tetapditentukan sebesar selisih antara jumlah hasil pelepasan neto, jika ada, dan jumlahtercatatnya dan diamasukkan ke dalam laba rugi namun tidak dikalsifikasin sebagaipendapatan.
Pelepasan aset tetap dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
- Penjualan aset tetap
- Disewakan dalam pembiayaan sewa
- Disumbangkan
Imbalan yang akan diterima atas pelepasan aset tetao diakui pada nilaiwajarnya. Jika pembayaran berjangka, maka integritas yang diterima akan diakuiawalnya pada nilai yang setara dengan harga jual tunai. Selisih antara jumlah nominal dan nilai yang setara dengan harga jual tunai diakui sebagai pendapatan bunga. Pendapatan yang mencerminkan kecemerlangan efektif atas tagihan tersebut
Referensi :
Mayangsari, AP, & Nurjanah, Y. (2018). Analisis Penerapan PSAK No. 16 DalamPerlakuan Akuntansi Aset Tetap Perusahaan Studi Kasus Pada CV. Mebel Bangun Perkasa. Jurnal Ilmiah Akuntansi Kesatuan, 6(3), 195–204.
Siswati, S. (2016). Revaluasi aset tetap berdasar aspek akuntansi psak 16 (revisi 2011) dan aspek perpajakan. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ekonomi, 06(6).
Penyusutan dan Amortisasi
penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian- bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud selain bangunan, dapat juga dilakukan di bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktivitas, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah melakukan penilaian kembali aktivitas tersebut. Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
|
Kelompok Harta Berwujud |
Masa Manfaat |
Tarif – Metode garis lurus |
Tarif – Metode Saldo Menurun |
|
I. Bukan Bangunan |
|
|
|
|
Kelompok 1 |
4 tahun |
25% |
50% |
|
Kelompok 2 |
8 tahun |
12,5% |
25% |
|
Kelompok 3 |
16 tahun |
6,25% |
12,5% |
|
Kelompok 4 |
20 tahun |
5% |
10% |
|
II. Bangunan |
|
|
|
|
Tidak Permanen |
10 tahun |
10% |
|
|
Permanen |
20 tahun |
5% |
|
ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penempatan asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya harta penarikan tersebut.
Apabila hasil diketahui penempatan asuransi yang akan diterima dalam jumlah baru dapat dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah kerugian yang dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagai bantuan, sumbangan, zakat, hibah dan/atau warisan yang diakui berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak dapat dianggap sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
AMORTISASI
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan yang dilakukan secara taat asas.
Amortisasi dimulai pada bulan pengeluarannya, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
|
Kelompok Harta Tak Berwujud |
Masa Manfaat |
Tarif Amortisasi – Garis Lurus |
Tarif Amortisasi – Saldo Menurun |
|
Kelompok 1 |
4 tahun |
25% |
50% |
|
Kelompok |
8 tahun |
12,5% |
25% |
|
Kelompok |
16 tahun |
6,25% |
12,5% |
|
Kelompok |
20 tahun |
5% |
10% |
Pengeluaran untuk biaya pendirian dan perluasan modal suatu perusahaan yang dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain dengan menggunakan metode satuan produksi, hak pengusahaan hutan, dan pengusaha hakan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, muhibah (niat baik), hak pengusahaan hutan, hak di bidang penambangan minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai imbalan yang merupakan pendapatan pada tahun terjadinya kunjungan tersebut.
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagai bantuan, sumbangan, zakat, hibah dan/atau warisan yang diakui berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Barang Endorse Kini dipungut Pajak?
Di jaman milineal ini, banyak para remaja yang mencari cuan ataui penghasilan dari berbagai sumber. Mulai dari sumber media sosial, money game ataupun yang bekerja dikantoran mapupun menjadi usahawan bahkan ada yang menjadi artis dadakan. Nah, dari berbagai sumber penghasilan, salah satu yang sedang disorot yaitu penghasilan yang bersumber dari barang endorse, kenapa? Pasalnya Direktorat Jenderal Pajak mengatakan barang endorse yang diterima para artis atau infulencer dikenakan pajak karena termasuk penghasilan tambahan di luar penghasilan sebagai artis. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 yang berlaku 1 Juli 2023.
Apakah Parsel dan Bingkisan Merupakan Objek Pajak atau Bukan?
Terima kasih atas pertanyaan yang Ibu sampaikan di meja redaksi kami melaui rubrik My Tax Advisor Ini. Mengingat belum lama ini, Pemerintah telah merilis aturan pelaksana pengenaan pajak atas natura. Pada dasarnya natura/kenikmatan merupakan objek pajak. Namun, untuk alam dengan jenis dan batasan dampak tertentu dari objek pajak penghasilan (PPh), salah satunya diberikan parsel atau bingkisan. Merujuk Pasal 5 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023), pemberian bingkisan atau parsel berupa bahan makanan/minuman, dan makanan/minuman yang diharapkan dari pengenaan pajak sepanjang memenuhi batasan tertentu.
Pengenaan pajak untuk parsel/bingkisan dapat ditransformasikan menjadi dua jenis yaitu bingkisan dalam rangka hari raya keagamaan dan bingkisan selain hari raya keagamaan. Bingkisan yang diberikan dalam rangka Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Natal, Hari Suci Nyepi, Hari Raya Waisak, atau Tahun Bau Imlek. Pengecualian Pajak natura atas bingkisan diberikan sepanjang diterima atau diperoleh seluruh pegawai.
Dalam Lampiran A PMK 66/2023, bingkisan selain dalam hari rangka raya kekayaan hayati dari pajak sepanjang dengan jumlah tidak lebih dari Rp3.000.000 untuk setiap pegawai dalam satu tahun pajak. Jika melebihi batas, selisih lebih dari nilai bingkisan/parsel merupakan objek PPh. Demikian penjelasan dari kami.
PAJAK UMKM
Untuk apa membayar pajak UMKM?
Dengan pendapatan dari pajak, pembangunan negara dapat terwujud melalui pendanaan proyek produktif. Ekonomi yang tumbuh berarti kegiatan ekonomi juga bertambah, pengeluaran masyarakat bertambah sehingga dapat meningkatkan pendapatan usaha. Karena UMKM juga pengusaha, tentunya pembangunan di segala bidang dan manfaatnya akan dirasakan seluruh pengusaha. Terutama untuk administrasi UMKM , membayar pajak dapat mempermudah ekspansi usaha seperti melakukan ekspor/impor serta mendapatkan pinjaman . Kontribusi yang diberikan UMKM terhadap penerimaan negara akan melancarkan aktivitas usaha, menunaikan kewajiban, dan mendukung pembangunan ekonomi secara keseluruhan .
Bagaimana Membedakan Pajak UMKM dengan Pajak Orang Pribadi/Pajak Badan?
|
Pajak Orang Pribadi Non UMKM |
Pajak Orang Pribadi Non UMKM |
Pajak UMKM | |
| Tarif Pajak | Progresif 5-35% |
Omzet usaha <4,8jt tarif PPh penuh 11% Omzet usaha >4,8 juta tarif PPh penuh 22% |
Omzet UMKM <4,8 juta Tarif PPh Final 0,5% Omzet UMKM >4,8 juta Tarif PPh Normal 22% |
| PTKP | Rp54-126 juta/tahun |
Tidak ada PTKP, tapi ada fasilitas pengurang tarif bagi omzet <4,8jt/tahun |
Rp500 juta/tahun |
Bagaimana cara mendaftarkan pajak unit usaha?
Bagaimana tahapan yang harus dilakukan pada saat saya ingin menjadi Wajib Pajak?
- Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP jika telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif
- Menghitung pajak yang harus dibayar sesuai dengan kegiatan usaha wajib pajak
- Membayar pajak yang seharusnya dibayar dengan mekanisme pembayaran sendiri ke Kas Negara (melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi), dan Pemotongan/Pemungutan Pajak oleh pihak lain
- Melaporkan seluruh kegiatan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan Tahunan sesuai kondisi sebenarnya
Bagaimana cara agar usaha saya didata sebagai UMKM berdasarkan pajak?
Saat mendaftarkan badan usaha di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat usaha Anda berdomisili, maka Anda akan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Apa yang harus dilakukan pada saat usaha baru pertama kali dibuat?
Membuat NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak
Bagaimana cara mendaftarkan NPWP apabila saya tidak dapat mengunjungi KPP tempat usaha berdomisili?
- Online melalui go.id
- Klik tombol Pendaftaran NPWP, lalu klik daftar untuk membuat akun, siapkan alamat
- email aktif untuk pendaftaran akun
- Setelah memiliki akun, Anda baru bisa melakukan proses pendaftaran dengan mengisi data pribadi dan mengikuti petunjuk yang disediakan, menyiapkan file hasil pindaian kartu identitas untuk diunggah sebagai syarat untuk mendapatkan NPWP
- Nomor NPWP akan dikirimkan melalui email segera setelah pendaftaran Anda memenuhi ketentuan dan persetujuan
Apakah UMKM berdasarkan perpajakan berbentuk perorangan atau badan usaha? Apa perbedaan persyaratannya?
UMKM dapat menjadi Wajib Pajak Orang Pribadi ( WP OP ) maupun Wajib Pajak Badan ( WP Badan )
Perbedaan WP OP vs WP Badan pada UMKM adalah sebagai berikut:
Perusahaan Badan Usaha
Persyaratan Pendaftaran NPWP kalo KTP perorangan, kartu keluarga, surat izin usaha, dan seterusnya lalu Badan usaha Surat izin usaha, akta pendirian usaha, NPWP pengurus badan dan masing-masing anggota (apabila badan usaha kerjasama), dan seterusnya.
Bagaimana cara membayar dan melaporkan pajak UMKM?
Apa saja tahapan pembayaran pajak UMKM?
- Membuat kode penagihan
- Membayar pajak UMKM sesuai nominal pajak yang harus dibayar melalui kantor pos maupun bank persepsi, internet banking, atau mobile banking
Apa saja tahapan untuk melaporkan pajak UMKM?
Melewati e-SPT dengan formulir 1770/1771
- Kunjungi laman pajak.go.id dan klik tombol Login di pojok kanan atas, lalu masukkan NPWP, kata sandi, dan kode keamanan (CAPTCHA)
- pilih tab Lapor dan klik pada icon e-filing atau e-form , lalu ikuti petunjuk yang disediakan
Apa saja tahapan pembayaran pajak UMKM?
- Membuat kode penagihan
- Membayar pajak UMKM sesuai nominal pajak yang harus dibayar melalui kantor pos maupun bank persepsi, internet banking, atau mobile banking
Apa saja tahapan untuk melaporkan pajak UMKM?
Melewati e-SPT dengan formulir 1770/1771
- Kunjungi laman pajak.go.id dan klik tombol Login di pojok kanan atas, lalu
masukkan NPWP, kata sandi, dan kode keamanan (CAPTCHA)
- Pilih tab Lapor dan klik pada icon e-filing atau e-form , lalu ikuti petunjuk yang disediakan
Bagaimana pelaporan jika dalam beberapa bulan usaha tidak beroperasi/tidak beromset?
Laporan nihil
Apa saja pajak selain pajak UMKM yang perlu diperhatikan jika UMKM ingin bertransaksi dengan WAPU?
Perlu memperhatikan transaksi:
- Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1 juta dan bukan merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
- Pembayaran untuk pembebasan tanah.
- Pembayaran atas penyerahan BKP/JKP yang menurut ketentuan peraturan-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bukan bahan bakar minyak oleh PT Pertamina.
- Pembayaran atas rekening telepon.
- Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diterima oleh perusahaan penerbangan
- Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Bagaimana pelaporan akhir tahun untuk WP UMKM?
Tidak melapor SPT masa namun melapor SPT tahunan
APA ITU PAJAK DIBAYAR DI MUKA?
Pajak Dibayar di Muka (Prepaid Tax) adalah pembayaran atau pemotongan pajak yang dilakukansebelumSurat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dilaporkan.
- Bentuk pembayaran pajak secaraangsuranataupotongan langsungdari transaksi tertentu.
KENAPA DISEBUT DIMUKA ?
- Pembayaran Sebelum Pelaporan:
Pajak dimuka dibayarsebelumSPT Tahunan disampaikan.
- Pemotongan Langsung dari Transaksi:
Pajak dipotong langsung saat transaksi terjadi.
- Bersifat Angsuran:
Pajak dimuka bertujuan untukmengurangi bebanpembayaran pajak sekaligus di akhir tahun.
- Memenuhi Kewajiban Secara Bertahap:
Pemerintah mengatur pembayaran pajak secara bertahap untuk memastikan penerimaan pajak yang stabil.
JENIS :
- PPh Pasal 22:
Dipungut oleh instansi pemerintah atau badan tertentu atas pembelian barang.
Contoh: Impor barang, pembelian oleh BUMN.
- PPh Pasal 23:
Dipotong atas penghasilan dari jasa yang diberikan ke customer.
- PPh Pasal 25:
Angsuran pajak yang dibayar oleh wajib pajak badan atau orang pribadi.
Besarnya dihitung berdasarkan SPT Tahunan tahun sebelumnya.
CONTOH:
- Perusahaan A memiliki kewajiban pajak tahunan (berdasarkan SPT Tahunan 2022) sebesar000.000.
- Angsuran PPh Pasal 25 per bulan =000.000 / 12 = Rp10.000.000.
Bagaimana jurnal entri yang dibuat per bulan?
Saat Terutang
Pajak Dimuka – PPh 25 Rp10.000.000
Utang Pajak – PPh 25 Rp10.000.000
Saat Pembayaran
Utang Pajak – PPh 25 Rp10.000.000
Bank / Kas Rp10.000.000
MANFAAT :
- Bagi Wajib Pajak:Meringankan beban pembayaran pajak di akhir tahun.
Menghindari denda akibat keterlambatan pembayaran.
- Bagi Pemerintah:Memastikan penerimaan pajak yang stabil dan teratur.
Meminimalkan risiko tunggakan pajak.
Apa Itu NPWP ?
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
NPWP Berfungsi ?
- Sebagai Tanda Pengenalan diri atau Identitas Wajib Pajak
- Menjaga Ketertiban dalam Pembayaran Pajak
- Untuk Memudahkan dalam Pengawasan Administrasi Perpajakan. Faktur Pajak, Surat Pemberitahuan, Baik yang bulanan (masa) Maupun tahunan harus mencantumkan NPWP
Pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya.
Accounting for Employment Benefits
This paper discusses PSAK 219, the Indonesian Financial Accounting Standard for employee benefits, which covers post-employment, termination, and short-term benefits. PSAK 219 introduces more accurate actuarial methods for valuing employee benefit obligations, emphasizing realistic economic and demographic assumptions. The standard classifies benefits into four categories: short-term, other long-term, post-employment, and termination benefits. It enhances recognition, measurement, and disclosure requirements to improve transparency and reliability of financial statements. Companies must now provide detailed disclosures and collaborate with actuarial experts. PSAK 219 also stresses risk management practices. This aligns with Indonesia’s employment laws, ensuring accurate reporting of employee benefit obligations
PSAK 219 is the Indonesian Financial Accounting Standard that governs employee benefits, encompassing post-employment benefits, termination benefits, and short-term employee benefits. It outlines how companies should recognize, measure, and present employee benefit obligations in their financial statements.
PSAK 219 represents a significant update to employee benefits accounting in Indonesia. This new accounting standard places greater emphasis on the use of realistic assumptions regarding economic and demographic factors that influence the measurement of post- employment benefits.
This standard requires companies to use more advanced actuarial techniques in estimating the present value of future obligations. The objective is to enhance the recognition, measurement, and disclosure of employee benefits, particularly post-employment benefits such as pensions and severance payments.
PSAK 219 classifies employee benefits into four types:
- Short- are expected to be settled term employee benefits are expected to be settled within twelve months after the end of the annual reporting period in which the employee renders the related service, include: wages, salaries, and social security contributions, paid annual leave and paid sick leave, profit-sharing and bonuses, non-monetary
- Other long-term employee benefits are expected to be settled more than twelve months after the end of the annual reporting period in which the employee renders the related service, include: long-term paid absences, long-service benefits, long-term disability benefits, profit-sharing and bonuses, and deferred
- Post-employment benefits encompass retirement benefits such as pensions and other post-employment benefits.
- Termination benefits are distinct from other employee benefits because they arise from the employer’s decision to end the employment relationship, rather than from the employee’s length of service or contractual entitlements.
Several significant guidelines in PSAK 219 that assist companies in enhancing the transparency and reliability of their financial statements include:
- Recognition and Measurement of Liabilities
PSAK 219 introduces a more precise approach to measuring employee benefit obligations. Companies are required to consider various assumptions when determining the present value of future obligations. These assumptions must be based on relevant economic and demographic data to ensure accuracy.
- Enhanced Disclosure Requirements
This standard enhances disclosure requirements for employee benefits. Companies are now obligated to provide more detailed information about the characteristics of their employee benefit plans, including the assumptions used in actuarial calculations. This increased transparency enables stakeholders to better understand the financial impact of these programs.
- Risk Management
PSAK 219 emphasizes the importance of a more comprehensive approach to risk management in employee benefit programs. Companies are expected to be more proactive in identifying, assessing, and managing risks associated with these programs, including market, credit, and operational risks. Effective risk management helps reduce volatility in financial statements and optimize employee benefit costs.
Additionally, companies are required to establish closer collaboration with actuarial experts to ensure the accuracy of calculations in the recognition and measurement of employee benefits, as well as detailed disclosures in financial statements.
In Indonesia, employee benefits are governed by Law No. 6 of 2023 concerning Job Creation, which encompasses minimum wages, employment social security (BPJS Ketenagakerjaan), health insurance (BPJS Kesehatan), overtime pay, paid annual leave, sick leave and maternity leave, religious holiday allowances (THR), severance pay, and pensions. PSAK 219 Employee Benefits provides guidelines on how companies should recognize various types of employee benefits and the eligibility for their presentation and disclosure in financial statements.
Regulation of Minimum Salary
This article discusses the latest minimum wage regulations in Indonesia, especially after the issuance of the Minister of Manpower Regulation Number 16 of 2024, which sets a 6.5% increase in the national minimum wage in 2025. This policy is a follow-up to the Constitutional Court Decision No. 168/PUU-XXI/2023, which emphasizes the importance of calculating wages based on decent living needs and the contribution of workers to economic growth. This article outlines the differences between Provincial Minimum Wage, District Minimum Wage, and Sectoral Minimum Wage, as well as how each is determined based on economic conditions and the recommendations of the wage council. The application example in DKI Jakarta shows that the increase in UMP and UMS follows the official formula set by the central government. This adjustment in the minimum wage demands employers to reassess their internal wage structure and scale in a fairer and more measured manner. The increase in wages should not be viewed solely as a burden but also as an opportunity to build a more prosperous workforce.
May 1st is commemorated as International Labor Day, which has its roots in the labor movement in the United States in 1886, demanding humane working hours. In Indonesia, Labor Day has been designated as a national holiday since May 1st, 2014, through Presidential Decree No. 24 of 2013. This commemoration is not merely an annual event but also a moment to appreciate the contributions of workers to economic and social progress. It serves as a reminder to reflect on employment issues that remain relevant to the world of business and investment, including fair wages and industrial relations.
The Indonesian government, through Minister of Manpower Regulation No. 16 of 2024, has set a 6.5% increase in the national minimum wage for 2025. This increase is a follow-up to the Constitutional Court Decision No. 168/PUU-XXI/2023, which emphasizes the need to calculate minimum wages based on decent living needs and the contribution of workers to economic growth.
The regulation also affirms that the determination of minimum wages must take into account economic growth, inflation, and certain indices that reflect a balance between the interests of workers and businesses. It is important to understand the distinction between the Provincial Minimum Wage (UMP) and the Regency/Municipal Minimum Wage (UMK).
UMP is the minimum wage set by the governor for the entire province as the lowest wage threshold. In contrast, UMK is set more specifically for each regency or city and must be higher than the UMP. The UMK is determined by considering economic conditions, decent living needs, and recommendations from the local wage council.
In addition to UMP and UMK, the regulation also mandates the determination of sectoral minimum wages (UMS) for certain sectors that have specific characteristics. This is especially important for companies operating in labor-intensive sectors, high-risk industries, or those subject to specific business classifications (KBLI).
For businesses, this adjustment requires careful planning. Employers are expected to evaluate their internal wage structures and scales by considering factors such as job position, length of service, education, and competencies, as mandated by the Constitutional Court’s decision.
This approach is not only a form of regulatory compliance but also a manifestation of corporate responsibility. More importantly, businesses should not view the increase in minimum wage solely as a burden, but as an opportunity to foster a loyal, productive, and prosperous workforce. The welfare of workers has a direct impact on the long-term stability and operational quality of a company.
Labor Day reminds us that economic progress can be achieved when workers, employers, and the government work together to build a fair, healthy, and productive work environment. With the right regulations and shared awareness, Labor Day 2025 can become a key moment to maintain the balance between employee welfare and business sustainability.
As an illustration, through Governor of DKI Jakarta Decree No. 829 of 2024, the Provincial Government of DKI Jakarta has set a 6.5% increase in the Provincial Minimum Wage (UMP), from IDR 5,067,381 to IDR 5,396,791. This increase strictly follows the formula set out in Minister of Manpower Regulation No. 16 of 2024, in which the current year’s UMP is increased by a fixed rate of 6.5%.
Human Resources Information System
Information and digital technology respond to the development of Organizations to transform Human Resource (HR) management by offering a Human Resource Information System (HRIS) as a solution to improve the efficiency and effectiveness of HR management functions such as integrating real-time HR data, performing predictive analysis, and managing employee life cycles. SW Digital Solution has helped many company managements to implement HRIS and anticipate the challenges that often arise. Future trends point towards the integration of HRIS with artificial intelligence (AI) technology, people analytics, and and performance management systems powered by machine learning so that the role of HR management personnel is not only as an administrative function, but as a strategic business partner
Organizations that aim to stay relevant in the evolving world of business and investment are required to transform their Human Resource (HR) management. Information and digital technology offer the Human Resource Information System (HRIS) as a solution to enhance the overall efficiency and effectiveness of HR management functions.
HRIS is not merely an administrative software, but a strategic management system that enables companies to integrate HR data in real-time, perform predictive analysis, and manage the entire employee lifecycle. By automating manual processes and providing data-driven intelligence, HRIS serves as a foundation for companies to build human-centered competitive advantages.HRIS is defined as an information technology-based system designed to support the collection, storage, processing, and reporting of HR data. This system integrates key HR management functions into a single unified platform.
Key Components of HRIS
- Employee Data Management: Employee profiles, job history, contracts, and other important documents.
- Recruitment and Onboarding: Digitalization of the entire process, from hiring to fully integrating new employees.
- Payroll and Benefits: Automation of payroll, taxes, social security (BPJS), and other
- Performance and KPI Management: Performance evaluations, succession planning, and career development.
- Learning & Development: Training, e-learning, and competency development
- Self-Service Portal: Self-service features for leave requests, reimbursements, and pay
- Analytics and Reporting: Dashboards for strategic HR performance
Company management is encouraged to develop literacy, awareness, and the capability to optimally utilize HRIS. This is especially important as the majority of employees now come from the millennial and Gen Z generations, where HRIS can help companies transform into sustainably growing organizations.
The benefits of HRIS in organizational transformation include:
- Operational Efficiency and Cost Reduction
Digitalizing HR processes reduces reliance on manual work and minimizes administrative errors.
- Data-Driven Strategic Decision Making
HRIS enables HR departments to make decisions based on metrics and trends, such as turnover rates, engagement levels, and productivity.
- Improved Employee Experience
Employees have direct control and access to their information, enhancing job satisfaction.
- Regulatory Compliance
HRIS helps organizations meet legal obligations related to employment, audits, and taxation.
- Flexibility and Scalability
Modern cloud-based systems dynamically support the needs of both small- and large- scale companies.
In addition to literacy and awareness of HRIS benefits, company management must anticipate the challenges of implementation.
The first challenge is the consideration of initial implementation costs, including licensing, training, and data migration. The next challenge is organizational culture change, which requires HR personnel to adapt to the new system and demands strong commitment from top management. Additionally, there are challenges related to data security and privacy
— HR information is sensitive and must be protected in accordance with cybersecurity standards. Lastly, there is the challenge of aligning the system with business processes, as HRIS must be customized to meet the unique needs of each company.
Business owners and investors in Indonesia are increasingly recognizing the importance of utilizing HRIS to enhance competitiveness. Several local platforms such as Talenta, LinovHR, and Gadjian offer cloud-based HRIS solutions with comprehensive features. Meanwhile, large corporations like Bank Mandiri, Telkom Indonesia, and Gojek have implemented global HRIS systems such as SAP SuccessFactors or Oracle HCM Cloud.
Future trends point toward the integration of HRIS with artificial intelligence (AI), people analytics, and performance management systems powered by machine learning. This shift encourages HR professionals to move beyond administrative functions and take on the role of strategic business partners.
From the explanation above, it is clear that HRIS is not merely an administrative system, but a core driver of HR digitalization that helps organizations build adaptive, productive, and future-oriented workplaces. In an increasingly dynamic business landscape, companies that strategically integrate HRIS will gain an advantage in managing talent, fostering a modern work culture, and sustainably improving productivity.
Withholding Tax for Employment Income
Tax regulations in Indonesia regulate the withholding of Income Tax Article 21 on income received or obtained by domestic individual taxpayers in connection with work, services, or activities. Based on Government Regulation Number 58 Year 2023 and Minister of Finance Regulation Number 168 Year 2023 (effect on January 1, 2024), the Directorate General of Taxes (“DGT”) changed the procedure for withholding Income Tax Article 21 monthly using the Average Effective Rate. The Average Effective Rate method can simplify the process of calculating monthly Income Tax Article 21 and minimize errors in calculating taxes payable and result in tax penalties.
Tax regulations in Indonesia regulate the withholding of Income Tax Article 21 for income received by employees. Income Tax Article 21 is a tax withheld from income in connection with work, services, or activities by name and in any form received or obtained by domestic individual taxpayers.
Income Tax Article 21 deductions must be made by the employer, government treasurer, pension fund, agency, company, and activity organizer. Employees who work for a company can receive income in the form of salaries, bonuses, holiday allowances, benefits in kind, and other benefits. The company will deduct Income Tax Article 21 on the income received by employees every month.
The Directorate General of Taxes (“DGT”) issued regulations implementing the withholding of Income Tax Article 21, namely Government Regulation Number 58 Year 2023 (“PP 58/2023”) and Minister of Finance Regulation Number 168 Year 2023 (“MoF 168/2023”) which came into effect on January 1, 2024. In these regulations, the DGT has changed the procedure for withholding Income Tax Article 21 on a monthly basis for employees using the Average Effective Rate based on the amount of Non-Taxable Income according to the marital status and number of dependents of the employee at the beginning of the tax year.
Prior to the enactment of PP 58/2023 and MoF 168/2023, the calculation of monthly Income Tax Article 21 was carried out by simulating the monthly income received by employees, into 1 (one) full year income by taking into account Non-Taxable Income and income deductions. Such deductions include office expenses and contributions related to pension programs paid by the employee through the company. This simulation method creates complexity for both the company and the employee.
In accordance with PP 58/2023 and MoF 168/2023, Average Effective Rate for the calculation of monthly Income Tax Article 21 is divided into 3 (three) categories, namely:
- Average Effective Rate Category A is applied to the gross monthly income of employees with Non-Taxable Income status:
- Unmarried without dependents (TK/0)
- Unmarried with 1 dependent (TK/1)
- Married without dependents (K/0)
- Average Effective Rate Category B is applied to the gross monthly income of employees with Non-Taxable Income status:
- Unmarried with 2 dependents (TK/2)
- Unmarried with 3 dependents (TK/3)
- Married with 1 dependent (K/1)
- Married with 2 dependents (K/2)
- Average Effective Rate Category C is applied to the gross monthly income of employees with Non-Taxable Income status:
- Married with 3 dependents (K/3)
The following is an illustration of the calculation of Income Tax Article 21 using Average Effective Rate.
Mr. A works for PT XYZ and gets a monthly salary of IDR 10.000.000 and pays a pension contribution of IDR 100.000 per month. Mr. A is married and has no dependents (K/0). In accordance with Mr. A’s Non-Taxable Income status (K/0), the monthly Income Tax Article 21 deduction will fall into the Average Effective Rate category A.
Assuming Mr. A works for one full year (January – December), the calculation of Income Tax Article 21 for the last tax period (December) is as follows
In accordance with the illustration above, the application of Average Effective Rate for employees is only used in calculating Income Tax Article 21 for Tax Periods other than the Last Tax Period, while the calculation of Income Tax Article 21 for the Year in the Last Tax Period still uses the rate of Article 17 paragraph (1) letter (a) of the Income Tax Law.
Monthly Income Tax Article 21 withholding using the Average Effective Rate method is expected to simplify the process of calculating monthly Income Tax Article 21 and avoid errors in calculating taxes payable which can result in tax penalties in the future. In addition, it can provide convenience for the Company in calculating and deducting monthly Income Tax Article 21 on employee income.
Tax Consultant can assist the Company to calculate Income Tax Article 21 using the Average Effective Rate method.
就业福利会计
就业福利会计
本文讨论了 PSAK 219,即印度尼西亚员工福利财务会计准则,涵盖离职后、解雇和短期福利。PSAK 219 引入了更准确的精算方法来评估员工福利义务,强调现实的经济和人口假设。该标准将福利分为四类:短期、其他长期、离职后和结束聘用福利。它加强了确认、计量和披露要求,以提高财务报表的透明度和可靠性。公司现在必须提供详细的披露并与精算专家合作。PSAK 219 还强调风险管理实践。这与印度尼西亚的雇佣法保持一致,确保准确报告员工福利义务
PSAK 219 是印度尼西亚财务会计准则,用于管理员工福利,包括离职后福利、解雇福利和短期员工福利。它概述了公司应如何在其财务报表中确认、衡量和列报员工福利义务。
PSAK 219 代表了印度尼西亚员工福利会计的重大更新。这一新的会计准则更加强调对影响离职后福利衡量的经济和人口因素的现实假设。
该标准要求公司使用更先进的精算技术来估计未来债务的现值。其目标是加强对员工福利的识别、衡量和披露,尤其是养老金和遣散费等离职后福利。
PSAK 219 将员工福利分为四种类型:
- 短期 预计会结算 员工福利 应在员工提供相关服务的年度报告期结束后的 12 个月内结算,包括: 工资、薪金和社会保障缴款、带薪年假和带薪病假、利润分享和奖金、非货币福利。
- 其他长期员工福利 预计将在员工提供相关服务的年度报告期结束后十二个月以上结算,包括:长期带薪缺勤、长期服务福利、长期残疾福利、利润分享和奖金以及递延薪酬。
- 离职后福利 包括退休福利,例如养老金和其他离职后福利。
- 结束聘用福利 与其他员工福利不同,因为它们是由雇主决定终止雇佣关系产生的,而不是由员工的服务年限或合同权利产生的。
PSAK 219 中帮助公司提高财务报表透明度和可靠性的几项重要指导方针包括:
- 负债确认和计量
PSAK 219 引入了一种更精确的方法来衡量员工福利义务。公司在确定未来债务的现值时需要考虑各种假设。这些假设必须基于相关的经济和人口统计数据,以确保准确性。
- 加强披露要求
该标准加强了员工福利的披露要求。公司现在有义务提供有关其员工福利计划特征的更多详细信息,包括精算计算中使用的假设。这种透明度的提高使利益相关者能够更好地了解这些计划的财务影响。
- 风险管理
PSAK 219 强调了在员工福利计划中采用更全面的风险管理方法的重要性。公司应更加积极主动地识别、评估和管理与这些计划相关的风险,包括市场、信用和运营风险。有效的风险管理有助于减少财务报表的波动性并优化员工福利成本。
此外,公司需要与精算专家建立更紧密的合作,以确保员工福利的确认和计量以及财务报表中详细披露的计算准确性。
在印度尼西亚,员工福利受 2023 年关于创造就业机会的第 6 号法律管辖,其中包括最低工资、就业社会保障 (BPJS Ketenagakerjaan)、健康保险 (BPJS Kesehatan)、加班费、带薪年假、病假和产假、宗教假期津贴 (THR)、遣散费和养老金。PSAK 219 员工福利提供了关于公司应如何识别各种类型的员工福利以及在财务报表中列报和披露这些福利的资格的指导方针。
最低工资规定
本文讨论了印度尼西亚最新的最低工资法规,尤其是在 2024 年第 16 号人力部长条例发布后,该条例规定 6.5 年全国最低工资将增加 2025%。该政策是宪法法院第 168/PUU-XXI/2023 号决定的后续行动,该决定强调了根据体面生活需求和工人对经济增长的贡献计算工资的重要性。本文概述了省级最低工资、地区最低工资和行业最低工资之间的区别,以及如何根据经济状况和工资委员会的建议来确定它们。DKI 雅加达的应用示例表明,UMP 和 UMS 的增加遵循中央政府设定的官方公式。最低工资的调整要求雇主以更公平、更谨慎的方式重新评估其内部工资结构和规模。工资的增长不应仅仅被视为一种负担,而应被视为建立更繁荣的劳动力的机会。
5 月 1 日被纪念为国际劳动节,它起源于 1886 年美国的劳工运动,要求人性化的工作时间。在印度尼西亚,自 2014 年 5 月 1 日起,劳动节通过 2013 年第 24 号总统令被指定为国定假日。这个纪念活动不仅是一年一度的活动,也是感谢工人对经济和社会进步所做贡献的时刻。它提醒人们反思与商业和投资领域仍然相关的就业问题,包括公平工资和劳资关系。
印度尼西亚政府通过 2024 年第 16 号人力部长条例,设定了 6.5 年国家最低工资的 2025% 增长。这一增加是宪法法院第 168/PUU-XXI/2023 号决定的后续行动,该决定强调需要根据体面的生活需求和工人对经济增长的贡献来计算最低工资。
该法规还申明,最低工资的确定必须考虑到经济增长、通货膨胀和反映工人和企业利益之间平衡的某些指数。了解省级最低工资 (UMP) 和摄政/市级最低工资 (UMK) 之间的区别非常重要。
UMP 是省长为全省设定的最低工资门槛。相比之下,UMK 是针对每个摄政区或城市设置的,并且必须高于 UMP。UMK 是通过考虑经济状况、体面的生活需求和当地工资委员会的建议来确定的。
除了 UMP 和 UMK 之外,该法规还要求确定具有特定特征的某些行业的行业最低工资 (UMS)。这对于在劳动密集型行业、高风险行业或受特定业务分类 (KBLI) 约束的公司尤其重要。
对于企业来说,这种调整需要仔细规划。根据宪法法院的裁决,雇主应通过考虑工作职位、服务年限、教育和能力等因素来评估其内部工资结构和等级。
这种方法不仅是监管合规的一种形式,也是企业责任的一种体现。更重要的是,企业不应将最低工资的提高仅仅视为一种负担,而应将其视为培养忠诚、高效和繁荣的劳动力的机会。工人的福利直接影响公司的长期稳定性和运营质量。
劳动节提醒我们,当工人、雇主和政府共同努力建立公平、健康和高效的工作环境时,经济就可以取得进步。有了正确的法规和共同的意识,2025 年劳动节可以成为保持员工福利和企业可持续性之间平衡的关键时刻。
例如,通过 DKI 雅加达省长 2024 年第 829 号法令,DKI 雅加达省政府将省级最低工资 (UMP) 提高 6.5%,从 5,067,381 印尼盾提高到 5,396,791 印尼盾。这一增长严格遵循 2024 年人力部长第 16 号法规中规定的公式,其中当年的 UMP 按 6.5% 的固定费率增加。
人力资源信息系统
信息和数字技术通过提供人力资源信息系统 (HRIS) 作为解决方案来提高人力资源管理职能的效率和有效性,例如集成实时 HR 数据、执行预测分析和管理员工生命周期,从而响应组织转变人力资源 (HR) 管理的发展。SW Digital Solution 已帮助许多公司管理层实施 HRIS 并预测经常出现的挑战。未来趋势表明 HRIS 与人工智能 (AI) 技术、人员分析以及由机器学习提供支持的绩效管理系统的集成,因此人力资源管理人员的角色不仅仅是作为管理职能,而且是战略业务合作伙伴
旨在在不断发展的商业和投资世界中保持相关性的组织需要 转变其人力资源 (HR) 管理。信息和数字技术提供人力资源信息系统 (HRIS) 作为提高人力资源管理职能整体效率和有效性的解决方案。
HRIS 不仅仅是一个管理软件,而是一个战略管理系统,使公司能够实时整合 HR 数据、执行预测分析并管理整个员工生命周期。通过自动化手动流程和提供数据驱动的智能,HRIS 为公司建立以人为本的竞争优势奠定了基础。HRIS 被定义为一种基于信息技术的系统,旨在支持人力资源数据的收集、存储、处理和报告。该系统将关键的 HR 管理功能集成到一个统一的平台中。
HRIS 的关键组件
- 员工数据管理:员工档案、工作经历、合同和其他重要文件。
- 招聘和入职:从招聘到完全融入新员工的整个过程的数字化。
- 工资单和福利: 工资单、税收、社会保障 (BPJS) 和其他福利的自动化。
- 绩效和 KPI 管理:绩效评估、继任计划和职业发展。
- 学习与发展:培训、电子学习和能力发展跟踪。
- 自助服务门户:休假申请、报销和工资单的自助服务功能。
- 分析和报告:用于战略性 HR 绩效监控的仪表板。
鼓励公司管理层培养素养、意识和最佳利用 HRIS 的能力。这一点尤为重要,因为现在大多数员工来自千禧一代和 Z 世代,HRIS 可以帮助公司转型为可持续增长的组织。
HRIS 在组织转型中的优势包括:
- 提高运营效率和降低成本
数字化 HR 流程可减少对手动工作的依赖,并最大限度地减少管理错误。
- 数据驱动的战略决策
HRIS 使 HR 部门能够根据指标和趋势(例如离职率、敬业度和生产力)做出决策。
- 改善员工体验
员工可以直接控制和访问他们的信息,从而提高工作满意度。
- 法规遵从性
HRIS 帮助组织履行与雇佣、审计和税务相关的法律义务。
- 灵活性和可扩展性
基于云的现代系统动态支持小型和大型公司的需求。
除了识字和了解 HRIS 的好处外,公司管理层还必须预测实施的挑战。SW 数字解决方案团队经常协助 HRIS 实施,在此期间经常会出现一些常见的挑战。
第一个挑战是考虑初始实施成本,包括许可、培训和数据迁移。下一个挑战是组织文化变革,这需要 HR 人员适应新系统,并需要最高管理层的坚定承诺。此外,还存在与数据安全和隐私相关的挑战
— 人力资源信息是敏感信息,必须根据网络安全标准进行保护。最后,使系统与业务流程保持一致的挑战,因为必须定制 HRIS 以满足每家公司的独特需求。
印度尼西亚的企业主和投资者越来越认识到利用 HRIS 提高竞争力的重要性。Talenta、LinovHR 和 Gadjian 等多个本地平台提供具有全面功能的基于云的 HRIS 解决方案。与此同时,Bank Mandiri、Telkom Indonesia 和 Gojek 等大公司已经实施了全球 HRIS 系统,例如 SAP SuccessFactors 或 Oracle HCM Cloud。
未来趋势表明 HRIS 与人工智能 (AI)、人员分析和由机器学习提供支持的绩效管理系统的集成。这种转变鼓励 HR 专业人员超越行政职能,承担起战略业务合作伙伴的角色。
从上面的解释中可以清楚地看出,HRIS 不仅仅是一个管理系统,而是人力资源数字化的核心驱动力,可帮助组织建立适应性强、高效且面向未来的工作场所。在日益动态的商业环境中,战略性整合 HRIS 的公司将在管理人才、培养现代工作文化和可持续提高生产力方面获得优势。
就业收入的预扣税
印度尼西亚的税务法规规定了国内个人纳税人在工作、服务或活动中收到或获得的收入的所得税第 21 条的预扣税。根据 2023 年第 58 号政府法规和 2023 年第 168 号财政部长法规(于 2024 年 1 月 1 日生效),税务总局 (“DGT”) 更改了使用平均有效税率每月预扣所得税第 21 条的程序。平均有效税率方法可以简化第 21 条每月所得税的计算过程,并最大限度地减少计算应纳税额的错误和导致的税收罚款。
印度尼西亚的税务法规规定了员工收到的收入的所得税预扣税第 21 条。所得税第 21 条是国内个人纳税人以名义和任何形式从与工作、服务或活动相关的收入中预扣的税款。
所得税第 21 条的扣除必须由雇主、政府财务主管、养老基金、机构、公司和活动组织者进行。为公司工作的员工可以以工资、奖金、假期津贴、实物福利和其他福利的形式获得收入。公司将根据员工每月收到的收入扣除所得税第 21 条。
税务总局 (“DGT”) 发布了实施所得税预扣第 21 条的法规,即 2023 年第 58 号政府法规(“PP 58/2023”)和财政部长 2023 年第 168 号法规(“财政部 168/2023”),于 2024 年 1 月 1 日生效。在这些法规中,DGT 更改了员工根据纳税年度开始时的婚姻状况和受抚养人人数使用基于非应税收入金额的平均有效税率的雇员按月预扣所得税第 21 条的程序。
在 PP 58/2023 和 MoF 168/2023 颁布之前,第 21 条月度所得税的计算是通过模拟员工收到的月收入进行,考虑到非应税收入和收入扣除额,转化为 1(一)年全年收入。此类扣除包括办公费用和员工通过公司支付的与养老金计划相关的供款。这种模拟方法会给公司和员工带来复杂性。
根据 PP 58/2023 和 MoF 168/2023,计算月度所得税的平均有效税率第 21 条分为 3(三)类,即:
- 平均有效税率类别 A 适用于非应税收入状态的员工的月总收入:
- 无受抚养人的未婚 (TK/0)
- 未婚,有 1 名受抚养人 (TK/1)
- 已婚无受抚养人 (K/0)
- 平均有效税率类别 B 适用于非应税收入状态的员工的月总收入:
- 未婚,有 2 名受抚养人 (TK/2)
- 未婚,有 3 名受抚养人 (TK/3)
- 已婚,有 1 名受抚养人 (K/1)
- 已婚,有 2 名受抚养人 (K/2)
- 平均有效税率类别 C 适用于非应税收入状态的员工的月总收入:
- 已婚,有 3 名受抚养人 (K/3)
以下是使用平均有效税率计算所得税第 21 条的示例。
A 先生为 PT XYZ 工作,月薪为 10,000.000 印尼盾,每月缴纳 100.000 印尼盾的养老金。A 先生已婚,没有受抚养人 (K/0)。根据 A 先生的非应税收入状况 (K/0),每月所得税第 21 条扣除额将属于平均有效税率类别 A。
假设 A 先生工作了一整年(1 月至 12 月),则最后一个纳税期(12 月)的所得税第 21 条的计算如下
根据上图,员工平均有效税率的应用仅用于计算最后一个纳税期以外的纳税期的所得税第 21 条,而最后一个纳税期年度的所得税第 21 条的计算仍然使用所得税法第 17 条第 (1) 款 (a) 项的税率。
使用平均有效税率方法预扣第 21 条月度所得税预计将简化第 21 条月度所得税的计算过程,并避免在计算应缴税款时出现错误,从而在未来导致税收处罚。此外,它还可以为公司计算和扣除员工所得的每月所得税第 21 条提供便利。
税务顾问可以协助公司使用平均有效税率法计算第 21 条所得税。信永中和税务咨询在协助客户根据印度尼西亚现行税收法规正确计算所得税第 21 条方面经验丰富。适当且可衡量的合规性可以提高我们的客户对其核心业务的关注。
Akuntansi untuk Imbalan Kerja
Makalah ini membahas PSAK 219, Standar Akuntansi Keuangan Indonesia untuk imbalan kerja, yang mencakup imbalan pascakerja, pemutusan hubungan kerja, dan jangka pendek. PSAK 219 memperkenalkan metode aktuaria yang lebih akurat untuk menilai kewajiban imbalan kerja, dengan menekankan asumsi ekonomi dan demografi yang realistis. Standar ini mengklasifikasikan imbalan menjadi empat kategori: jangka pendek, jangka panjang lainnya, pascakerja, dan imbalan pemutusan hubungan kerja. Standar ini menyempurnakan persyaratan pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan untuk meningkatkan transparansi dan keandalan laporan keuangan. Perusahaan kini harus memberikan pengungkapan terperinci dan berkolaborasi dengan para ahli aktuaria. PSAK 219 juga menekankan praktik manajemen risiko. Hal ini sejalan dengan undang-undang ketenagakerjaan Indonesia, yang memastikan pelaporan kewajiban imbalan kerja yang akurat.
PSAK 219 adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang mengatur tentang imbalan kerja, termasuk imbalan pasca kerja, tunjangan akhir jabatan, dan imbalan kerja jangka pendek. PSAK 219 mengatur bagaimana perusahaan mengakui, mengukur, dan menyajikan kewajiban imbalan kerja di laporan keuangan.
PSAK 219 merupakan pembaruan signifikan terhadap akuntansi manfaat karyawan di Indonesia. Standar akuntansi baru ini lebih menekankan pada asumsi realistis tentang faktor ekonomi dan demografi yang memengaruhi pengukuran manfaat pascakerja.
Standar ini mengharuskan perusahaan untuk menggunakan teknik aktuaria yang lebih baik dalam mengestimasi nilai kini dari kewajiban masa depan.
Tujuannya untuk meningkatkan pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan manfaat karyawan, khususnya manfaat pascakerja seperti pensiun dan pembayaran pesangon.
PSAK 219 mengklasifikasikan imbalan kerja menjadi:
- Tunjangan karyawan jangka pendek diharapkan diselesaikan yang diekpektasikan selesai dalam waktu dua belas bulan setelah akhir periode pelaporan tahunan, meliputi gaji, upah, dan iuran jaminan sosial, cuti tahunan dan sakit yang dibayar, bagi hasil dan bonus, serta tunjangan non-moneter lainnya.
- Tunjangan karyawan jangka panjang lainnya, yang diekpektasikan selesai dalam waktu lebih dari dua belas bulan setelah akhir periode pelaporan tahunan, meliputi cuti panjang berbayar seperti cuti besar, tunjangan cacat permanen, bagi hasil dan bonus jangka panjang, serta remunerasi yang ditangguhkan.
- Tunjangan pasca-kerja mencakup imbalan pensiun dan imbalan pascakerja
- Manfaat penghentian terpisah dari imbalan kerja lain karena kewajiban tersebut timbul akibat pemutusan hubungan kerja atas permintaan pemberi kerja, bukan berdasarkan masa kerja karyawan.
Beberapa pedoman signifikan dalam PSAK 219 yang membantu Perusahaan meningkatkan transparansi dan keandalan laporan keuangan antara lain:
- Pengakuan dan Pengukuran Liabilitas
PSAK 219 memperkenalkan pendekatan yang lebih tepat dalam mengukur kewajiban imbalan kerja karyawan. Perusahaan diwajibkan untuk mempertimbangkan berbagai asumsi ketika menentukan nilai kini kewajiban di masa depan. Asumsi-asumsi ini harus didasarkan pada data ekonomi dan demografis yang relevan untuk memastikan akurasinya.
- Persyaratan Pengungkapan yang Ditingkatkan
Standar ini meningkatkan persyaratan pengungkapan untuk imbalan kerja karyawan. Perusahaan diwajibkan untuk menyediakan informasi yang lebih rinci mengenai karakteristik program imbalan kerja mereka, termasuk asumsi yang digunakan dalam perhitungan aktuaria. Transparansi yang ditingkatkan ini memungkinkan para pemangku kepentingan untuk lebih memahami dampak keuangan dari program-program tersebut
- Manajemen Risiko
PSAK 219 menekankan pentingnya pengelolaan risiko yang lebih komprehensif dalam program imbalan kerja karyawan. Perusahaan diharapkan untuk lebih proaktif dalam mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko yang terkait dengan program imbalan kerja, termasuk risiko pasar, risiko kredit, dan risiko operasional. Pengelolaan risiko yang efektif membantu mengurangi volatilitas dalam laporan keuangan dan mengoptimalkan biaya imbalan kerja karyawan
Perusahaan diwajibkan untuk menjalin kolaborasi yang lebih erat dengan ahli aktuaria guna memastikan akurasi perhitungan dalam pengakuan dan pengukuran imbalan kerja karyawan serta pengungkapan yang rinci dalam laporan keuangan.
Di Indonesia, tunjangan karyawan diatur oleh Undang-Undang No.6 Tahun 2023 tentang Cipta kerja, yang mencakup upah minimum, jaminan sosial ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan), upah lembur, cuti tahunan berbayar, cuti sakit dan cuti melahirkan, tunjangan hari raya (THR), dan pesangon dan uang pensiun. PSAK 219 Imbalan Kerja menyediakan pedoman bagaimana Perusahaan mengakui berbagai jenis imbalan kerja dan kelayakan penyajian dan pengungkapannya dalam laporan keuangan.
Regulasi Upah Minimum
Artikel ini membahas terkait aturan upah minimum terbaru di Indonesia, khususnya setelah terbitnya Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 yang menetapkan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% pada tahun 2025. Kebijakan ini menjadi bentuk tindak lanjut dari Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 yang menekankan pentingnya penghitungan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Artikel ini menguraikan perbedaan antara UMP, UMK, dan UMS, serta bagaimana masing-masing ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi, serta rekomendasi dewan pengupahan. Adapun contoh penerapan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa kenaikan UMP dan UMS mengikuti formula resmi yang ditetapkan pemerintah pusat. Penyesuaian upah minimum ini menuntut pengusaha untuk meninjau ulang struktur dan skala upah internal perusahaan secara lebih adil dan terukur. Kenaikan upah seharusnya tidak dilihat semata sebagai beban, namun juga sebagai peluang membangun tenaga kerja yang lebih sejahtera dan produktif.
Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, yang berakar dari perjuangan buruh di Amerika Serikat pada 1886 dalam menuntut jam kerja yang manusiawi. Di Indonesia, Hari Buruh dijadikan sebagai hari libur nasional sejak 1 Mei 2014 melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013.
Peringatan ini tidak sekedar menjadi acara tahunan, namun juga menjadi momentum untuk menghargai kontribusi pekerja terhadap kemajuan ekonomi dan sosial. Peringatan untuk merefleksikan isu-isu ketenagakerjaan yang terus relevan dengan dunia bisnis dan investasi, termasuk pengupahan dan hubungan industrial yang berkeadilan.
Pemerintah Indonesia melalui Permenaker No. 16 Tahun 2024 menetapkan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Kenaikan ini merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023, yang menekankan perlunya indikator penghitungan upah minimum dikaitkan dengan kebutuhan hidup layak serta kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Regulasi itu juga menegaskan bahwa penetapan upah minimum wajib mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang mencerminkan keseimbangan antara kepentingan pekerja dan dunia usaha.
Perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan antara Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). UMP adalah upah minimum yang ditetapkan oleh gubernur untuk seluruh wilayah provinsi sebagai batas terendah pengupahan. Sementara itu, UMK ditetapkan secara lebih spesifik untuk setiap kabupaten atau kota, dan nominalnya harus lebih tinggi dari UMP. Penetapan UMK mempertimbangkan kondisi ekonomi, kebutuhan hidup layak, serta rekomendasi dari dewan pengupahan setempat.
Selain UMP dan UMK, Permenaker tersebut juga mengatur kewajiban penetapan upah minimum sektoral bagi sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik khusus. Hal ini penting diperhatikan oleh perusahaan yang bergerak di bidang padat karya, industri berisiko tinggi, atau yang tunduk pada klasifikasi badan usaha tertentu (KLBI).
Bagi dunia usaha, penyesuaian ini menuntut perencanaan yang matang. Pengusaha seharusnya mengevaluasi struktur dan skala upah internal, dengan memperhatikan faktor- faktor seperti jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi sebagaimana diamanatkan dalam putusan Makamah Konsitusi tersebut.
Langkah ini bukan hanya bentuk kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga perwujudan tanggung jawab perusahaan. Lebih dari itu, penting bagi seluruh pelaku usaha untuk tidak memandang kenaikan upah minimum sebagai beban semata, melainkan sebagai peluang untuk menciptakan tenaga kerja yang loyal, produktif, dan sejahtera. Kesejahteraan pekerja secara langsung berdampak pada stabilitas dan kualitas operasional perusahaan dalam jangka panjang.
Hari Buruh mengingatkan kita bahwa kemajuan ekonomi bisa tercapai jika pekerja, pengusaha, dan pemerintah bekerja sama membangun lingkungan kerja yang adil, sehat, dan produktif. Dengan aturan yang tepat dan kesadaran bersama, Hari Buruh 2025 bisa menjadi momen penting untuk menjaga keseimbangan antara kesejahteraan karyawan dan keberlanjutan usaha.
Sebagai ilustrasi, melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 829 Tahun 2024, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%, dari Rp 5.067.381,- menjadi Rp5.396.791,-. Kenaikan ini sepenuhnya merujuk pada formula yang ditetapkan dalam Permenaker No. 16 Tahun 2024, yakni UMP tahun berjalan ditambah nilai kenaikan tetap sebesar 6,5%.
Selain itu, Pemerintah Provinsi juga menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) untuk sektor- sektor tertentu yang dianggap memiliki karakteristik pekerjaan khusus, seperti tingkat risiko yang lebih tinggi atau tuntutan keahlian teknis tertentu.
Sistem Informasi Sumber Daya Manusia
Teknologi informasi dan digital merespon perkembangan Organisasi untuk bertransformasi atas manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dengan menawarkan Human Resource Information System (HRIS) sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas fungsi- fungsi manajemen SDM seperti mengintegrasikan data SDM secara real-time, melakukan analisis prediktif, dan mengelola siklus hidup karyawan. SW Digital Solution telah banyak membantu manajemen perusahaan untuk mengimplementasikan HRIS dan mengantisipasi tantangannya yang kerap kali muncul. Tren ke depan mengarah pada integrasi HRIS dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), people analytics, dan sistem manajemen performa berbasis machine learning sehingga peran insan manajemen SDM tidak hanya sebagai fungsi administratif, tetapi sebagai mitra strategis bisnis
Organisasi yang relevan dengan perkembangan dunia bisnis dan investasi dituntut untuk bertransformasi dalam manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Teknologi informasi dan digital menawarkan Human Resource Information System (HRIS) sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas fungsi-fungsi manajemen SDM secara menyeluruh.
HRIS bukan hanya perangkat lunak administratif, melainkan sistem stratejik pihak manajemen yang memungkinkan perusahaan untuk mengintegrasikan data SDM secara real-time, melakukan analisis prediktif, dan mengelola siklus hidup karyawan secara menyeluruh. Dengan mengotomatisasi proses manual dan menghadirkan kecerdasan berbasis data, HRIS menjadi fondasi bagi perusahaan dalam membangun keunggulan kompetitif berbasis manusia.
HRIS didefinisikan sebagai sistem berbasis teknologi informasi yang dirancang untuk mendukung pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, dan pelaporan data SDM. Sistem ini mengintegrasikan fungsi-fungsi utama manajemen SDM ke dalam satu platform terpadu.
Komponen Utama HRIS:
- Manajemen Data Karyawan: Profil karyawan, histori jabatan, kontrak, dan dokumen penting lainnya.
- Rekrutmen dan Onboarding: Digitalisasi proses perekrutan hingga integrasi karyawan
- Penggajian dan Manfaat: Otomatisasi payroll, pajak, BPJS, dan benefit
- Manajemen Kinerja dan KPI: Penilaian kinerja, perencanaan suksesi, dan pengembangan karier.
- Learning & Development: Pelatihan, e-learning, dan pelacakanpengembangan kompetensi.
- Self-Service Portal: Fitur mandiri bagi karyawan untuk cuti, reimbursement, dan slip gaji.
- Analitik dan Pelaporan: Dashboard untuk pemantauan kinerja SDM secara
Manajemen perusahaan didorong untuk memiliki literasi, kesadaran dan kemampuan untuk memanfaatkan HRIS secara optimal. Terlebih mayoritas karyawan berasal dari generasi milenial dan Gen Z, dimana HRIS dapat membantu perusahaan untuk bertransformasi menuju organisasi yang tumbuh secara berkelanjutan.
Manfaat HRIS dalam transformasi organisasi antara lain:
- Efisiensi Operasional dan Reduksi Biaya
Digitalisasi proses SDM mengurangi ketergantungan pada pekerjaan manual dan kesalahan administratif.
- Keputusan Strategis Berbasis Data
HRIS memungkinkan HR mengambil keputusan berbasis metrik dan tren, seperti turnover, tingkat keterlibatan, dan produktivitas.
- Peningkatan Employee Experience
Karyawan memiliki kontrol dan akses langsung terhadap informasi, meningkatkan kepuasan kerja.
- Kepatuhan terhadap Regulasi
HRIS membantu organisasi memenuhi kewajiban hukum terkait ketenagakerjaan, audit, dan perpajakan.
- Fleksibilitas dan Skalabilitas
Sistem modern berbasis cloud mendukung kebutuhan perusahaan skala kecil hingga besar secara dinamis.
Selain literasi dan pengetahuan akan manfaat HRIS, manajemen perusahaan perlu mengantisipasi tantangan implementasi.
Tantangan pertama dalah pertimbangan biaya implementasi awal termasuk lisensi, pelatihan, dan migrasi data. Tantangan berikutnya adalah perubahan budaya organisasi yang menuntut adaptasi SDM terhadap sistem baru dan memerlukan komitmen dari manajemen puncak. Selain itu tantangan terkait keamanan dan privasi data. Informasi SDM bersifat sensitif dan harus dijaga sesuai standar keamanan siber. Terakhir tantangan akan kesesuaian dengan proses bisnis, dimana HRIS harus dikustomisasi agar sesuai dengan kebutuhan unik perusahaan.
Pebisnis dan investor di Indonesia semakin menyadari pentingnya pemanfaatan HRIS dalam meningkatkan daya saing. Sejumlah platform lokal seperti Talenta, LinovHR, dan Gadjian menyediakan solusi HRIS berbasis cloud dengan fitur lengkap. Sedangkan perusahaan besar seperti Bank Mandiri, Telkom Indonesia, dan Gojek telah mengimplementasikan HRIS sistem global seperti SAP Success Factors atau Oracle HCM Cloud.
Tren ke depan mengarah pada integrasi HRIS dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), people analytics, dan sistem manajemen performa berbasis machine learning. Hal ini mendorong peran insan manajemen SDM tidak hanya sebagai fungsi administratif, tetapi sebagai mitra strategis bisnis.
Uraian di atas, kita paham bahwa HRIS bukan semata-mata sistem administrasi, melainkan poros digitalisasi SDM yang membantu organisasi membangun tempat kerja yang adaptif, produktif, dan berorientasi masa depan. Dalam lanskap bisnis yang semakin dinamis, perusahaan yang mengintegrasikan HRIS secara strategis akan memiliki keunggulan dalam mengelola talenta, membangun budaya kerja modern, dan meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan.
Pemotongan Pajak Penghasilan Karyawan
Regulasi perpajakan di Indonesia mengatur tentang pemotongan Pajak Penghasilan (“PPh”) Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 dan PMK 168 Tahun 2023 (berlaku sejak 1 Januari 2024), Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) mengubah tata cara pemotongan PPh Pasal 21 secara bulanan dengan menggunakan Tarif Efektif Rata-rata (“TER”). Metode TER dapat menyederhanakan proses penghitungan PPh Pasal 21 bulanan dan meminimalkan kesalahan penghitungan pajak terutang serta timbulnya sanksi pajak.
Regulasi perpajakan di Indonesia mengatur tentang pemotongan Pajak Penghasilan (“PPh”) Pasal 21 untuk penghasilan yang diterima karyawan. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Pemotongan PPh Pasal 21 wajib dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan. Karyawan yang bekerja pada suatu Perusahaan dapat menerima penghasilan berupa gaji, bonus, tunjangan hari raya, natura kenikmatan, dan tunjangan lainnya. Setiap bulan Perusahaan akan melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima karyawan.
Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) mengeluarkan peraturan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 (“PP 58/2023”) dan PMK 168 Tahun 2023 (“PMK 168/2023”) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2024. Pada aturan tersebut DJP telah mengubah tata cara pemotongan PPh Pasal 21 secara bulanan untuk karyawan yang dilakukan dengan menggunakan Tarif Efektif Rata-rata (“TER”) berdasarkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (“PTKP”) sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan karyawan pada awal tahun pajak.
Sebelum berlakunya PP 58/2023 dan PMK 168/2023, penghitungan atas PPh Pasal 21 bulanan dilakukan dengan cara mensimulasikan penghasilan bulanan yang diterima karyawan, menjadi seperti penghasilan 1 (satu) tahun penuh dengan memperhitungkan PTKP dan pengurang penghasilan. Pengurang tersebut seperti biaya jabatan dan iuran terkait program pensiun yang dibayar sendiri oleh karyawan melalui Perusahaan. Metode simulasi seperti itu menimbulkan kerumitan bagi perusahaan dan karyawan.
Sesuai dengan PP 58/2023 dan PMK 168/2023, TER untuk penghitungan PPh 21 bulanan dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:
- TER Kategori A diterapkan atas penghasilan bruto bulanan karyawan dengan status PTKP:
- Tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0)
- Tidak kawin dengan tanggungan sebanyak 1 orang (TK/1)
- Kawin tanpa tanggungan (K/0)
- TER Kategori B diterapkan atas penghasilan bruto bulanan karyawan dengan status PTKP:
- Tidak kawin dengan tanggungan sebanyak 2 orang (TK/2)
- Tidak kawin dengan tanggungan sebanyak 3 orang (TK/3)
- Kawin dengan tanggungan sebanyak 1 orang (K/1)
- Kawin dengan tanggungan sebanyak 2 orang (K/2)
- TER Kategori C diterapkan atas penghasilan bruto bulanan karyawan dengan status PTKP:
- Kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 orang (K/3)
Berikut merupakan ilustrasi penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan TER Tuan A pada bekerja pada perusahaan PT XYZ dan memperoleh gaji bulanan sebesar Rp 10.000.000 serta membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000 per bulan. Tuan A menikah dan tidak memiliki tanggungan (PTKP K/0). Sesuai dengan status PTKP Tuan A (K/0) maka untuk pemotongan PPh Pasal 21 bulanan akan masuk ke dalam kategori TER A.
Dengan asumsi Tuan A bekerja selama satu tahun penuh (Januari – Desember) maka penghitungan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak terakhir (Desember) adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan ilustrasi di atas, penerapan TER bagi karyawan hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 Setahun di Masa Pajak Terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.
Pemotongan PPh Pasal 21 bulanan dengan menggunakan metode TER diharapkan dapat menyederhanakan proses penghitungan PPh Pasal 21 bulanan dan menghindari kesalahan penghitungan pajak terutang yang dapat mengakibatkan timbulnya sanksi pajak di kemudian hari. Selain itu dapat memberi kemudahan bagi Perusahaan dalam melakukan penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 bulanan atas penghasilan karyawan.
Konsultan Pajak dapat membantu Perusahaan untuk menghitung PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode TER.
SISTEM PERIZINAN BERBASIS RESIKO TERBARU DI INDONESIA: DASAR HUKUM, PENJELASAN SINGKAT, PENGERTIAN, SEKTOR, SISTEM DAN SANKSI TERBARU
Dasar Hukum Terbaru
Dalam upaya menyederhanakan proses perizinan berusaha melalui penerapan perizinan berbasis risiko, sehingga memudahkan pendirian dan pengelolaan usaha, pemerintah kini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Penerbitan tersebut secara bersamaan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 yang nantinya dapat berdampak pada pembaruan sistem Online Single Submission (OSS) dan Indonesia National Singel Window (INSW).
Apa itu PB, PB UMKU dan Lembaga OSS
- Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2025 Pasal 1 Angka 3 menjelaskan Perizinan Berusaha yang selanjutnya disingkat PB adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
- Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2025 Pasal 1 Angka 4 menjelaskan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha yang selanjutnya disingkat PB UMKU adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha
- Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2025 Pasal 1 Angka 22 menjelaskan Lembaga OSS adalah kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
Apa itu Sistem Perizinan Berbasis Resiko
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pasal 1 Angka 1 yang dimaksud dengan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat PBBR adalah perizinan berusaha yang menggunakan pendekatan berbasis risiko yang diperoleh dari hasil analisis risiko setiap kegiatan usaha.
Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2025 Pasal 3 menjelaskan bahwa “ Penyelenggaraan PBBR bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan usaha, melalui:
- Pelaksanaan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU secara lebih efektif dan sederhana; dan
- Pengawasan yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Atas dasar hal tersebut, kini pelaku usaha yang hendak memulai dan melakukan kegiatan usaha wajib memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha, yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi bangunan. (Semua termuat dalam PP No. 28 Tahun 2025 Pasal 1 Angka 27,29,30 dan 32).
Ruang Ruang lingkup penyelenggaraan PBBR meliputi :
- Persyaratan dasar
- PB
- PB UMKU
- Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria;
- Layanan Sistem OSS
- Pengawasan
- Evaluasi dan Reformasi Kebijakan
- Pendanaan
- Penyelesaian Permasalahan dan Hambatan; dan
Hadirnya PP No. 28 Tahun 2025 telah memperluas daftar sektor yang wajib menerapkan perizinan usaha berbasis resiko yang mulanya ada 16 sektor menjadi 22 sektor. 6 sektor baru yakni meliputi :
- Metrologi Legal
- Ekonomi Kreatif
- Informasi Geospasial
- Koperasi
- Penanaman Modal
- Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik.
Pemisahan Prosedur untuk PB Umum dan PB UMKU
Perubahan penting lainnya yang dikenalkan dalam PP No. 28 Tahun 2025 terkait dengan penerbitan izin usaha adalah pemisahan prosedur Perizinan Berusaha (PB Umum) dan PB untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU).
Pemisahan ini tercermin dalam berbagai Lembaga berwenang yang bertanggung jawab atas setiap jenis izin.
Otoritas Penerbit PB dan PB UMKU
|
Otoritas Penerbit |
PP No. 28 Tahun 2025 |
|
|
PB |
PB UMKU |
|
|
Lembaga OSS |
√ |
|
|
Lembaga OSS atas nama Menteri/Kepala Lembaga |
√ |
√ |
|
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi atas nama gubernur terkait |
√ |
√ |
|
Kepala DPMPTSP Kabupaten/Kota atas nama bupati/wali kota terkait |
√ |
√ |
|
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) |
√ |
√ |
|
Kepala Badan Pengusaha Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuan Bebas (KPBPB) |
√ |
√ |
|
Menteri/Kepala Lembaga melalui sistem OSS |
√ |
|
Sanksi Administratif Baru
Dengan terbitnya PP No. 28 Tahun 2025, kini peraturan tersebut menetapkan pengenaan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar persyaratan dasar, PB atau PB UMKU.
Sanksi itu diberlakukan dengan struktur berjenjang sesuai tingkat kepatuhan, meliputi :
- Peringatan tertulis
- Penghentian sementara kegiatan usaha
- Pengenaan denda administrative
- Pengenaan daya paksa polisional
- Pengenaan lisensi/sertifikasi/persetujuan dan/atau
- Pencabutan pernyaratan dasar, PB dan PB UMKU.
THE LATEST RISK-BASED LICENSING SYSTEM IN INDONESIA: LEGAL BASIS, BRIEF EXPLANATION, DEFINITION, SECTORS, SYSTEM AND LATEST SANCTIONS
Latest Legal Basis
In an effort to simplify the business licensing process through the implementation of risk-based licensing, thus facilitating business establishment and management, the government has now issued Government Regulation (PP) Number 28 of 2025 concerning the Implementation of Risk-Based Business Licensing. The issuance simultaneously revokes Government Regulation Number 5 of 2021 which will have an impact on the renewal of the Online Single Submission (OSS) and Indonesia National Singel Window (INSW) systems.
What is PB, PB UMKU and OSS Institution
- Based on Government Regulation No. 28 of 2025 Article 1 Point 3 explains that Business Licensing, hereinafter abbreviated as PB, is the legality given to Business Actors to start and run their businesses and/or activities.
- Based on Government Regulation No. 28 of 2025 Article 1 Point 4 explains that Business Licensing to Support Business Activities, hereinafter abbreviated as PB UMKU, is the legality given to Business Actors to support business activities.
- Based on Government Regulation No. 28 of 2025 Article 1 Point 22 explains that the OSS Institution is a ministry / agency that carries out government affairs in the investment sector and government duties in the field of investment coordination.
What is Risk-Based Licensing System
Based on Government Regulation (PP) Number 28 of 2025 concerning the Implementation of Risk-Based Business Licensing Article 1 Point 1, what is meant by Risk-Based Business Licensing, hereinafter abbreviated as PBBR, is a business license that uses a risk-based approach obtained from the results of a risk analysis of each business activity.
Based on PP No. 28 of 2025 Article 3 explains that “The implementation of PBBR aims to improve the investment ecosystem and business activities, through:
- Implementation of the issuance of basic requirements, PB, and PB UMKU more effectively and simply; and
- Transparent, structured, and accountable supervision in accordance with the provisions of laws and regulations.
Based on this, now business actors who want to start and carry out business activities must meet the basic requirements of business licensing, which include the suitability of space utilisation activities, environmental approval, building approval, and building function certificate. (All are contained in Government Regulation No. 28 Year 2025 Article 1 Figures 27, 29, 30 and 32).
The scope of PBBR implementation includes :
- Basic requirements
- PB
- PB UMKU
- Norms, Standards, Procedures and Criteria;
- OSS System Services
- Supervision
- Policy Evaluation and Reform
- Funding
- Resolution of Problems and Obstacles; and
The presence of PP No. 28 Year 2025 has expanded the list of sectors that are required to implement risk-based business licensing from 16 sectors to 22 sectors. The 6 new sectors include:
- Legal Metrology
- Creative Economy
- Geospatial Information
- Co-operatives
- Investment
- Electronic System and Transaction Operator.
Separation of Procedures for PB General and PB UMKU
Another important change introduced in GR No. 28 Year 2025 related to the issuance of business licences is the separation of procedures for Business Licensing (PB Umum) and PB to Support Business Activities (PB UMKU).
This separation is reflected in the different authorised Agencies responsible for each type of licence.
Issuing Authority of PB and PB UMKU
|
Issuing Authority |
PP No. 28 Year 2025 |
|
|
PB |
PB UMKU |
|
|
OSS Institution |
√ |
|
|
OSS Institution on behalf of the Minister/Head of Institution |
√ |
√ |
|
Head of Provincial Investment and One-Stop Integrated Service (DPMPTSP) on behalf of the relevant governor |
√ |
√ |
|
Head of Regency/City DPMPTSP on behalf of the relevant regent/mayor |
√ |
√ |
|
Administrator of Special Economic Zone (SEC) |
√ |
√ |
|
Head of Entrepreneur Agency of Free Trade Zone and Free Port |
√ |
√ |
|
Minister/Head of Institution through OSS system |
√ |
|
New Administrative Sanctions
With the issuance of Government Regulation No. 28 Year 2025, the regulation now stipulates the imposition of administrative sanctions on business actors who violate the basic requirements, PB or PB of UMKU.
The sanctions are applied with a tiered structure according to the level of compliance, including :
- Written warning
- Temporary suspension of business activities
- Imposition of administrative fines
- Imposition of police coercion
- Imposition of licences/certifications/approvals and/or
- Revocation of basic requirements, PB and PB UMKU.
SP2DK
Apa Itu Surat SP2DK?
Surat SP2DK adalah singkatan dari Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan. Ini adalah surat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada wajib pajak. Tujuannya adalah untuk meminta klarifikasi atau penjelasan terkait data atau informasi yang dimiliki oleh DJP, yang mana data tersebut berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) mereka.
Secara sederhana, SP2DK ini ibaratnya seperti surat “undangan” dari kantor pajak yang menanyakan, “Kami punya data ini, tapi kenapa data yang kamu laporkan berbeda? Tolong jelaskan.”
Fungsi dan Tujuan SP2DK
Surat ini memiliki beberapa fungsi utama:
- Pemeriksaan Awal: SP2DK bukan merupakan surat pemeriksaan pajak, melainkan tahap awal sebelum pemeriksaan. Surat ini menjadi jembatan bagi wajib pajak untuk menjelaskan ketidaksesuaian data tanpa harus melalui proses pemeriksaan yang lebih formal dan rumit.
- Penggalian Potensi Pajak: Melalui SP2DK, DJP bisa mengidentifikasi potensi penerimaan pajak yang belum dilaporkan. Contohnya, jika DJP memiliki data bahwa seorang wajib pajak menerima penghasilan dari penjualan properti, namun penghasilan tersebut tidak tercantum dalam SPT.
- Penyelesaian Sengketa: Wajib pajak diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan. Jika penjelasannya diterima, masalah dianggap selesai. Jika tidak, proses bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius, seperti pemeriksaan pajak.
Contoh Situasi yang Memicu SP2DK
SP2DK bisa muncul karena berbagai alasan, misalnya:
- Disparitas Data: Data yang dimiliki DJP dari pihak ketiga (bank, notaris, instansi pemerintah) berbeda dengan yang dilaporkan wajib pajak. Misalnya, data transaksi rekening bank yang besar, sementara pendapatan yang dilaporkan kecil.
- Perubahan Profil Kekayaan: Adanya penambahan aset yang signifikan (seperti mobil mewah atau properti) yang tidak sebanding dengan penghasilan yang dilaporkan.
- Adanya Laporan dari Pihak Lain: DJP menerima laporan tentang kegiatan usaha atau penghasilan wajib pajak yang tidak tercatat dalam SPT.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Menerima SP2DK?
Jika Anda menerima surat ini, jangan panik. Langkah terbaik adalah segera merespons dengan cara:
- Pelajari Isi Surat: Pahami data atau informasi apa yang diminta DJP.
- Kumpulkan Bukti: Siapkan dokumen-dokumen pendukung yang dapat menjelaskan ketidaksesuaian data tersebut.
- Berikan Penjelasan: Sampaikan tanggapan Anda secara tertulis atau datang langsung ke kantor pajak, jika diperlukan.
- Konsultasi: Jika merasa kesulitan, Anda bisa berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional untuk membantu menyusun tanggapan yang tepat.
Penyebab status PKP di cabut tanpa Pemeriksaan
status Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat dicabut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara jabatan tanpa melalui proses pemeriksaan pajak. Proses ini disebut pencabutan berdasarkan penelitian administrasi.
Pencabutan tanpa pemeriksaan dilakukan ketika DJP memiliki data dan/atau informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai PKP. Pada dasarnya, DJP tidak perlu melakukan audit mendalam terhadap pembukuan karena alasan pencabutannya bersifat administratif dan faktual.
Berikut adalah penyebab utama status PKP dicabut secara jabatan tanpa melalui pemeriksaan:
Penyebab Utama Pencabutan Status PKP Tanpa Pemeriksaan
- Wajib Pajak Berstatus Non-Efektif (WP NE) Ini adalah penyebab paling umum. Wajib Pajak ditetapkan sebagai Non-Efektif jika tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif atau objektif namun belum melakukan penghapusan NPWP. Contohnya:
- Tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama 3 masa pajak berturut-turut.
- Tidak ada kegiatan usaha yang terdeteksi.
- Secara nyata tidak menunjukkan lagi adanya aktivitas bisnis.
Bagi DJP, jika Wajib Pajak sudah berstatus NE, maka status PKP-nya juga tidak relevan lagi dan dapat langsung dicabut.
- Tidak Menyampaikan SPT Masa PPN Selama 3 Bulan Berturut-turut Meskipun ini adalah salah satu kriteria WP NE, seringkali ini menjadi pemicu langsung. DJP akan menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik, dan jika tidak ada klarifikasi atau pelaporan dalam jangka waktu yang ditentukan, maka pencabutan status PKP akan dilakukan.
- Alamat Tidak Sesuai atau Tidak Ditemukan Jika berdasarkan penelitian lapangan atau data yang dimiliki DJP, alamat Wajib Pajak yang terdaftar tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, fiktif, atau tidak ditemukan, maka status PKP dapat dicabut. Kejelasan lokasi usaha adalah syarat fundamental menjadi PKP.
- PKP Orang Pribadi Meninggal Dunia Jika seorang PKP orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan yang melanjutkan kegiatan usaha, maka status PKP-nya akan dicabut secara jabatan berdasarkan data kematian yang diterima DJP.
- Bentuk Usaha Tetap (BUT) Menghentikan Kegiatan di Indonesia Apabila sebuah BUT yang berstatus PKP telah secara permanen menghentikan seluruh kegiatan usahanya di Indonesia, maka status PKP-nya akan dicabut.
- Penyalahgunaan Status PKP yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Jika seorang PKP terbukti secara hukum menyalahgunakan atau menggunakan status PKP tanpa hak (misalnya, menerbitkan faktur pajak fiktif) dan sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka DJP dapat langsung mencabut status PKP-nya tanpa perlu pemeriksaan ulang.
- Pemusatan Tempat PPN Terutang Jika sebuah perusahaan cabang yang sebelumnya berstatus PKP kemudian melakukan pemusatan PPN di kantor pusat, maka status PKP cabang tersebut akan dicabut secara jabatan.
Bagaimana Proses “Tanpa Pemeriksaan” Dilakukan?
Proses ini disebut Penelitian Administrasi. Artinya, DJP melakukan pencabutan berdasarkan:
- Data Internal: Informasi yang ada di sistem DJP, seperti riwayat pelaporan SPT, status NPWP (aktif/NE), dan data registrasi lainnya.
- Data Eksternal: Informasi dari pihak ketiga, seperti data kependudukan, akta notaris, atau hasil konfirmasi lapangan sederhana (verifikasi).
Jika dari hasil penelitian administrasi ini ditemukan fakta bahwa Wajib Pajak tidak lagi memenuhi syarat subjektif dan/atau objektif sebagai PKP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berwenang menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Dasar Hukum
Ketentuan mengenai pencabutan PKP secara jabatan berdasarkan penelitian administrasi diatur dalam:
- Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN)
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 147/PMK.03/2017
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) No. PER-04/PJ/2020